Buya Hamka dan Shalatnya
Oleh: Abdur Rauf Ya’qub *
Salah satu karakteristik orang-orang yang bertakwa adalah senantiasa menegakkan shalat. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Yaitu mereka yang mendirikan shalat” (QS. Al-Baqarah/ 2: 3). Orang-orang yang shalat ini akan terpancar dari dirinya perilaku takwa, sebab shalat mampu mencegah dirinya dari melakukan perbuatan yang keji dan munkar. Sebagaimana Allah SWT menuturkan:
“Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut/ 29: 45).
Berkaitan dengan QS. Al-Ankabut 29: 45 di atas, dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menuturkan bahwa pada tahun 1952 (waktu itu usia beliau dalam 44 tahun) beliau diundang sebagai tamu kehormatan di Amerika Serikat. Lebih kurang dua bulan lamanya beliau keliling di negeri Paman Sam itu tanpa ditemani oleh isteri maupun keluarga. Malam itu, Buya Hamka beristirahat di sebuah hotel di Denver. Sebelum beristirahat, Buya Hamka mendrikan shalat terlebih dahulu. Beberapa saat setelah selesai beliau mendirikan shalat, terdengar suara orang mengetuk pintu dari luar. Kemudian beliau membuka pintu, ternyata seorang pelayan hotel. Lalu pelayan hotel itu menawarkan kepada beliau barangkali butuh ditemani seorang perempuan muda.
Buya Hamka menuturkan bahwa saat itu dorongan hasrat laki-laki memang sedang berguncang. Hampir dua bulan beliau sendirian di negeri yang nun jauh di mata ini. Tiada seorang pun yang mengenalnya dan juga tidak ada yang mengetahui sekiranya beliau menerima tawaran yang menggiurkan itu. Akan tetapi, Buya Hamka bukanlah sembarang pemuda yang mudah terguncang batinnya. Buya Hamka menyadari bahwa dirinya baru saja menegakkan shalat jamak qashar maghrib dan isya’, bahkan bekas wudhu’ pun masih terlihat basah di wajahnya, yang terkenang di benak Buya Hamka saat mendapat tawaran dari pelayan hotel itu adalah shalat.
Tuturnya, “Kalau tidur dengan perempuan lain meskipun isteriku tidak mengetahuinya, bagaimana besok aku shalat shubuh? Bagaimana aku membaca dalam iftitah yang bunyinya ‘sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya untuk Allah Rabbul’alamin. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku adalah salah seorang yang berserah diri’.”
Kemudian dengan tegas Buya Hamka mengatakan kepada pelayan hotel itu, ‘No, thank you.’ Kemudian langsung menutup pintu kamar hotel itu dan beristirahat. Paginya, pada saat menegakkan shalat shubuh, Buya Hamka merasakan shalat kali itu lebih khusyu’ dan jauh lebih berkesan daripada sebelumnya.
Kisah di atas menunjukkan bahwa shalat dapat berfungsi sebagai perisai bagi kita dalam menghadapi serangan-serangan yang dapat meruntuhkan bangunan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Saya tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Buya Hamka, seandainya beliau bukan orang yang senantiasa menegakkan shalat dengan sempurna?
Oleh sebab itu, peliharalah shalat kita dengan baik. Jangan sampai kesibukan-kesibukan duniawi kita yang tak seberapa itu melalaikan kita dari shalat. Semoga kita dan anak keturunan kita termasuk ke dalam orang-orang yang tetap mendirikan shalat, sebagaimana permohonan Nabi Ibrahim AS yang tertuang dalam QS. Ibrahim ayat 40:
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’a-ku.”
Aamiin Ya Rabbal’alamin.
Wallahu a’lam bishshawaab
*Penulis adalah Alumni FAI UAD
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow