Cita-cita Tertinggi R.A KARTINI

Cita-cita Tertinggi R.A KARTINI

Smallest Font
Largest Font

“Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaannya wanita kita” Mahatma Gandhi.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Faktanya perempuan adalah mereka yang melahirkan generasi, bahkan peradaban tidak akan pernah ada ketika permpuuan tidak ada (QS Yasin 36), mulai dari mengandung hingga melahirkan, terkhusus lagi didalam Al-Qur’an nama perempuan secara khusus di sematkan sebagai nama surat yakni surat An-Nisa yang berarti perempuan, bahkan pada konteks lain menerangkan bahwa keberadaan surga ada pada telapak kaki ibu, lantas pantaskah perempuan selalu identik dengan keterbelakangannya?

Ketika memahami surat Al-Baqarah ayat 30 disana di jelaskan semua manusia adalah Khalifah (pemimpin) dimuka bumi tidak memandang laki-laki ataupun perempuan, sehingga ketika perempuan berfkir secara rasional, kritis, mendasar adalah menjadi suatu kewajran justru ketika perempuan hanya mengekor dan berpasrah diri terhadap laki-laki maka sesungguhnya ia meninggalkan tugasnya selaku khalifah di muka bumi, sikap kritis RA Kartini ketika menanggapi segala persoalan ia pandang dengan begitu kritis, teringat ketika beliau menulis surat kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.

Hingga RA Kartini bertemu dengan seorang Kiai Sholeh Darat dan Kiai mengajarkan tafsir Surat Al Fatihah, yang akhirnya membuat RA Kartini tertarik untuk mendalaminya hal ini terpancar karena ia adalah seorang yang intelek, kritis, dan rasional.

Dialog dengan Kyai Soleh Darat:

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

RA Kartini Mengirim surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;

Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Akhirnya, pada hari Kartini 21 April menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh Kartini-Kartini di era Millennial untuk memahami esensi kehidupan, esensi beragama, esensi bersosial, esensi berbudaya dengan demikian semua perempuan di dunia ini khususnya di Indonesia akan memahami “Habis Gelap terbitlah Terang” sesuai dengan etos RA Kartini dalam menemukan ayat Al-Qur’an yang amat memukau dalam sanubarinya yakni : Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257).


Oleh : Baharuddin Rohim*
*Ketua Komisariat IMM Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Masjid Syuhada Yogyakarta

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow