ads
NADJIKHNOMIC

NADJIKHNOMIC

Smallest Font
Largest Font

Yuswohady (Pakar Marketing)

Minggu lalu saya mampir di kantor pusat Kelola Mina Laut (KML) Group di Gresik diundang oleh pendirinya pak Mohammad Nadjikh. Saya ke Gresik dalam rangka riset untuk buku saya The Giving Leader dengan mewawancarai pak Nadjikh dan jajaran manajemen KML. Sebelumnya saya sudah melakukan studi literatur mengenai sepak terjang pak Nadjikh di industri pengolahan hasil laut, tapi baru tahu betul siapa sosok Mohammad Nadjikh setelah praktis seharian ketemu.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Bagi saya pak Nadjikh adalah sosok giving leader hebat yang populasinya langka di negeri ini. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga penjual ikan miskin di Gresik dan pola hidup prihatin sejak kecil (saat kuliah di IPB, ayahnya meninggal dan ia harus menggantikan sang ayah untuk mengasuh tujuh adiknya) telah menempa dan membentuk karakter pak Nadjikh menjadi entepreneur yang ulet dan mementingkan banyak orang, tidak selfish. Misi hidupnya cuma satu, membawa kemanfaatan kepada banyak orang.

Ngopeni yang Kecil

Yang paling menarik saya dari sosok Nadjikh adalah niat ingsun di balik ia berbisnis mengembangkan pabrik-pabrik pengolahan ikan di berbagai pantai perairan Nusantara yang kini telah mencapai puluhan dengan omset triliunan rupiah. Niatnya mulia untuk mengangkat harkat-martabat nelayan kita. Berbeda dengan kebanyakan pengusaha besar konglomerat yang serakah menguasai bisnis dari hulu hingga hilir, pak Nadjikh fokus hanya mengembangkan industri pengolahan ikan dimana bahan bakunya ia beli dari para nelayan.

Sengaja ia tak melebarkan bisnisnya di usaha penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar nan modern, karena ia sadar itu menjadi “jatahnya” para nelayan. “Saya tak mau menutup rezeki mereka,” ujarnya. Karena berasal dari keluarga penjual ikan, Nadjikh tahu persis bagaimana susahnya kehidupan nelayan yang senantiasa dipermainkan oleh para tengkulak. Maju kena mundur kena: ketika tangkapan ikan sedang banyak harga dibikin jatuh oleh tengkulak; begitu juga ketika tangkapan sedang sedikit.

Karena itu, seperti diungkapkannya ke saya minggu lalu, misinya membangun pabrik pengolahan ikan di sepanjang pesisir pantai Nusantara adalah untuk memutus rantai kemiskinan nalayan. “Saya sedih karena dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai nelayan semakin tidak menguntungkan karena ulah tengkulak. Akibatnya, banyak nelayan kita pada lari ke kota untuk menjadi tukang batu,” ujarnya.

Saya melihat, di KML sudah memainkan peran layaknya Bulog (Badan Urusan Logistik) yang  menjaga stabilitas harga di tingkat nelayan. Ketika musim panen ikan dan pasok berlebih, harga bisa tetap dijaga pada tingkat yang wajar. Begitu juga sebaliknya ketika tangkapan ikan sedang paceklik. Dengan begitu nelayan memiliki kepastian dalam berusaha dengan imbal hasil yang menarik. KML bukannya menjadi predator yang memberangus sumber nafkah nelayan, tapi justru mengayominya. Saat ini bisnis KML didukung oleh 600 UKM (pengepul) dan 125 ribu nelayan di sepanjang perairan Nusantara mulai dari Gresik, Madura, Makassar, Kendari, hingga Ambon. Istilah kerennya sekarang: “collaboration & cocreation“. “Salah satu keunggulan KML adalah ngopeni (mengayomi) yang kecil,” ujarnya bangga.

“Kitchen of Indonesia”

Mengenai model bisnis yang ia bangun melalui kermitraan dengan nelayan, pak Nadjikh punya misi yang amat mulia. Yaitu menjadikan KML sebagai “dapurnya Indonesia” (“the kitchen of Indonesia”). Apa maksudnya? Pak Nadjikh menempatkan KML sebagai dapur yang memasak ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kita di seluruh pesisir Nusantara. Kenapa dimasak? Agar ikan-ikan tersebut memiliki nilai tambah (value added) tinggi di pasar. Harap diketahui, sebagian besar produk olahan ikan, udang, dan kepiting KML saat ini diekspor ke Jepang, Eropa, dan Amerika dengan harga premium.

Upaya mendongkrak nilai tambah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengolahnya dengan menggunakan teknik global best practice sehingga menghasilkan world-class quality sehngga orang-orang kaya di negara maju tidak ogah mengonsumsinya. Saat ini produk KML diekspor di 30 negara-negara maju di Amerika, Eropa, dan Asia. Kini misalnya, KML merupakan eksportir teri nasi terbesar di pasar Jepang.

Kedua dengan cara mengemas dan mem-branding. Harap diketahui, saat ini KML menghasilkan produk-produk olahan ikan yang dikemas dengan beragam brand seperti Prima Star, Panorama, Minaku, dan Mina Kita, yang dijual di gerai-gerai ritel modern maupun ekspor.

Saat ini pak Nadjikh melangkah jauh untuk membawa KML menjadi “kitchen of Indonesia” tak hanya untuk produk kelautan tapi juga untuk produk pertanian seperti sayuran, biji-bijian seperti edamame (kedelai Jepang), dan lain-lain. Tak hanya itu, sekarang ia juga mengembangkan BMT (Baitul Mal wa Tamwil) semacam koperasi simpan-pinjam yang akan membantu pengelolaan keuangan para nelayan yang diayominya.

Bisnis Merakyat

Model bisnis pro rakyat kecil yang dijalankan oleh pak Nadjikh adalah aset bangsa yang harusnya menjadi teladan bagi pengusaha lain di seluruh pelosok negeRI. Di dalam model bisnis tersebut hakikat bahwa perusahaan yang besar mengayomi yang kecil terjadi melalui hubungan penuh cinta dan keikhlasan. Bagi saya bisnis yang dijalani pak Nadjikh adalah rahmatan lil alamin karena membawa kemanfaatan bagi ribuan nelayan miskin dan strategis bagi Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah laut. Bisnis pak Nadjikh sarat kearifan dan kemuliaan.

Tulisan ini saya beri judul Nadjikhonomic terus terang diilhami oleh istilah yang begitu populer tahun 1990-an di era pak Harto, yaitu Habibinomic. Menurut pendekatan ini, Pak Habibie yang waktu itu adalah Menteri Riset dan Teknologi, mengusulkan bahwa ekonomi Indonesia haruslah didorong oleh sektor-sektor industri berteknologi tinggi (industri strategis) yang memiliki daya saing dan nilai tambah tinggi. Ketika industri hitech ini ditopang oleh industri pendukung (supporting industry) kecil/menengah dalam jumlah besar maka diharapkan efek kemakmuran yang menetes ke bawah (trickle down effect) akan berlangsung.

Saya menyebut model bisnis kemitraan pelaku ekonomi besar dan gurem ala pak Nadjikch di atas dengan istilah Nadjikhnomic karena saya melihat model tersebut bisa dikembangkan menjadi platform pembangunan industri nasional seperti halnya Habibinomic. Bedanya,  menurut saya Nadjikhnomic justru lebih down to earth dan relevan karena mengacu kepada kekayaan sumber daya yang dimiliki Indonesia yaitu sumber daya laut, hutan, dan pertanian.

Di samping itu Nadjicknomic lebih pro rakyat kecil dan langsung menyentuh kalangan masyarakat paling bawah yaitu nelayan dan petani miskin. Bahkan pak Nadjikh menyebut model bisnis yang dikembangkannya sebagai “model bisnis anti kemiskinan”. Dengan begitu, trickle down effect tidak sekedar menjadi utopia, tapi lebih feasible untuk diwujudkan.

Kalau disuruh memilih apakah Habibinomic atau Nadjiknomic, terus terang saya lebih memilih yang terakhir. “Hidup nelayan Indonesia!!!”


Sumber: FB Yuswohady

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow