K.H. Hisyam, Saingi Belanda dengan Mendirikan Sekolah Muhammadiyah

K.H. Hisyam, Saingi Belanda dengan Mendirikan Sekolah Muhammadiyah

Smallest Font
Largest Font

Gerak Muhammadiyah itu lembut, sekaligus tegas dan tepat sasaran. Nilai itu ditanamkan K.H. Ahmad Dahlan sejak awal, bahkan tahun 1911 (setahun sebelum Muhammadiyah resmi berdiri) Kiai Dahlan sudah “melawan” hegemoni penjajah Belanda dalam dunia pendidikan. Langkahnya konkrit, mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah untuk mendidik kaum pribumi. Dalam perkembangannya lembaga pendidikan ini berubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah setelah ia berkunjung ke Kweekschool Katolik di Muntilan.

Teologi Al Ma’un seperti itu benar-benar ditanamkan kepada para murid dan santrinya. Yaitu, praktik nyata di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya pandai bercakap dan menghapal, Bahwa rakyat memerlukan pertolongan, maka langkahnya adalah memberikan pertolongan dengan aksi nyata, tidak hanya berdiskusi di balik meja.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Kiai Haji Hisyam adalah salah satu murid Kiai Dahlan yang meneruskan pelajaran gurunya. Terlahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 dan wafat pada 20 Mei 1945. Ia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah 1934-1936. Abdi dalem ulama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini dipilih dan dikukuhkan sebagai ketua dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta 1934. Dipilih lagi dalam Kongres ke-24 di Banjarmasin 1935, dan kembali terpilih dalam Kongres ke-25 di Batavia (Jakarta) pada 1936. Kiai Hisyam adalah ketua ketiga, setelah Kiai Dahlan dan Kiai Ibrahim.

Tertib administrasi dan organisasi adalah hal paling menonjol dalam periode kepemimpinannya. Titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun umum. Hal ini tercermin dari pendidikan putra-putrinya di beberapa perguruan milik pemerintah. Dua putranya disekolahkan menjadi guru, saat itu disebut sebagai bevoegd yang akhirnya menjadi guru di HIS Met de Qur’an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi tamat di Europese Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang mengajar HIS Gubernemen.

Pendidikan pada periode kepemimpinan Kiai Hisyam mengalami perkembangan sangat pesat. Demikian halnya ketertiban administrasi dan organisasi pun semakin mantap. Sebelum sebagai ketua, Mbah Hisyam adalah Ketua Bahagian Sekolah (saat ini Majelis Pendidikan) Pengurus Besar Muhammadiyah.

Muhammadiyah membuka sekolah dasar tiga tahun (Volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum Volkschool Gubernemen. Setelah itu, dibuka Vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Maka bermunculan Volkschool dan Vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa.

Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka Standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah semacam. Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Qur’an Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.

Kebijakan era Hisyam diarahkan pada moder¬nisasi sekolah Muhammadiyah, agar bisa menyamai kemajuan sekolah milik pemerintah kolonial. Ia berpikir, masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak harus memasukkan ke sekolah pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah telah mendirikan sekolah umum yang mempunyai mutu sama dengan sekolah pemerintah. Bahkan, para siswa memperoleh pendidikan agama. Walaupun harus memenuhi persyaratan berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial.

Menjauhi pemerintah kolonial? Tidak. Hisyam tetap mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial yakni dengan menerima bantuan keuangan, walau jumlahnya sangat sedikit, tidak sebanding dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen. Hal inilah yang menyebab¬kan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif.

Apa tanggapan Mbah Hisyam? Ia berpendirian bahwa subsidi pemerintah merupakan hasil pajak yang diperas dari rakyat Indonesia, terutama umat Islam. Dengan subsidi tersebut, persyarikatan bisa memanfaatkan untuk membangun kemajuan pendidikan yang akhirnya juga mendidik dan mencerdaskan bangsa. Menerima subsidi lebih baik dari pada menolak. Jika ditolak, akan dialihkan ke sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pada akhir 1932, Muhammadiyah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Sekolah Muhammadiyah juga memakai Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Saat itu Sekolah Muhammadiyah merupa¬kan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan sekolah Belanda, Katolik, dan Protestan.

Kiai Hisyam pun memperoleh penghargaan dari “pesaingnya” yakni pemerintah kolonial Belanda bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukan dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia. (hr)


Sumber: muhammadiyah.or.id

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow