Stay at Home Ala Siti Walidah

Stay at Home Ala Siti Walidah

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Heru Prasetya*

STAY at home? Di rumah saja? Ternyata itu bukan sesuatu yang baru, terutama bagi kebanyakan perempuan Jawa jaman dahulu. Bedanya, istilah untuk “stay at home” atau “di rumah saja” ketika itu adalah “pingit”. Jelas berbeda antara di rumah saja dengan dipingit, tetapi keduanya sama-sama stay at home, dilarang ke luar rumah.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Itu juga yang pernah dialami Nyai Walidah ketika memasuki usia remaja. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 3 Januari 1872. Orangtuanya adalah Haji Muhammad Fadhil, seorang kiai yang merupakan penghulu Keraton Yogyakarta sekaligus juragan batik. Bersama enam saudaranya, Siti Walidah kecil mendapatkan pelajaran agama dan pengetahuan dasar dari orangtuanya. Ia pandai mengaji berkat ajaran langsung sang ayah.

Dalam tujuh bersaudara itu, dua di antaranya adalah perempuan yaitu Siti Walidah dan kakaknya bernama Siti Munjiyah. Menurut buku Nyai Ahmad Dahlan yang ditulis Suratmin (1981), kedua anak perempuan itu sejak kecil dididik menunaikan tugas-tugas rumah dengan berpedoman kepada ajaran Islam.

Memasuki usia sembilan tahun kakak beradik itu dipingit oleh orangtuanya. Hal yang sama juga dialami  anak-anak perempuan seusianya baik di Kauman maupun kampung-kampung lain di Jawa. Mulailah mereka menjalani kehidupan di rumah saja. Stay at home.

Apa yang dilakukan ketika tidak boleh ke luar rumah? Tetap enjoy. Tidak berkecil hati. Bahkan menggunakan “aji mumpung” dengan meningkatkan kemampuan diri yang mungkin saja tidak bisa dilakukan jika tidak dipingit. Ya, ketika tidak diijinkan ke luar rumah dan tidak bisa menghirup udara bebas, menyibukkan diri di rumah dengan mengaji, mendalami ilmu agama, atau membantu sang ibunda menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Walidah menganggap rumah adalah madrasah kecil. Disitulah ia menempa banyak hal yang bermanfaat bagi usia remaja putri maupun dalam masa-masa berikutnya, juga bermanfaat pada periode ketika ia menjadi istri tokoh besar Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Bahkan Siti Walidah nantinya sering dijuluki sebagai Ibu Muhammadiyah, karena peran besarnya dalam mendirikan maupun mengembangkan organisasi ini.

Karena keluwesan dalam pergaulan, Walidah tak pernah kekurangan teman, padahal ia sedang dipingit. Buktinya adalah rumahnya tidak pernah sepi dari kunjungan teman-temannya. Meski kedatangan mereka untuk belajar mengaji kepada Kiai Fadhil, ayahnya, tetapi selalu saja ada saat bercengkerama dengan Walidah.

Para remaja yang datang ke rumahnya tidak saja perempuan, juga laki-laki. Ketika mengaji mereka dibedakan tempatnya, putri duduk di lantai di dalam rumah, sedangkan laki-laki di bagian depan rumah. Ada bangku pendek, lampu, tikar sumbangan para orangtua murid, dan dilengkapi sumur serta padasan (tempat wudu) di belakang rumah.

Begitulah Siti Walidah memanfaatkan stay at home. Ayahanda tercinta tidak pernah lepas perhatian kepada seluruh putra-putrinya, demikian halnya kepada Walidah. Kiai Fadhil melihat putri tersebut pandai mendorong kawan-kawannya agar cepat khatam Al Qur’an. Melihat bakat besar sebagai pemimpin ini Kiai Fadhil memberi tugas kepada Walidah untuk mengajar anak-anak yang usianya lebih muda dengan harapan bakat yang sudah menyemi itu bisa tumbuh dan berkembang. Walidah menerima tugas dengan sepenuh hati.

Kecerdasan dan kreativitas Walidah muncul di masa stay at home alias pingit. Agar “para murid” lebih termotivasi mengaji, ia pun bersedia memberikan pelajaran tambahan tapi dengan  syarat. Apa itu? Para murid harus menyelesaikan bacaan lebih dahulu jika ingin mendengarkan pelajaran berikutnya. Cara ini berhasil. Anak-anak menjadi lebih  antusias.  Sebagian besar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal sehingga menumbuhkan keingintahuan yang besar.

Hasil stay at home ala Siti Walidah sangat luar biasa. Ia tumbuh menjadi pemimpin yang baik di lingkungan rumah. Karena itulah ayahanda berpesan kepadanya agar membantu membuka langgar dan memulai kelompok pengajian. Tentu saja pesan itu diterima dengan senang hati oleh Walidah.

Memasuki usia dewasa, datanglah keluarga Muhammad Darwis ke rumah Kiai Fadhil. Tujuannya adalah melamar Siti Walidah. Saat itu usia Walidah 17 tahun, sekitar tahun 1889. Ia tidak kaget dengan ini, karena sudah pernah mendengar sebelumnya.

Darwis masih terhitung sepupu Walidah. Laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Ahmad Dahlan ini putra Kiai Haji Abu Bakar, ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Ngayogyakarta ketika itu. Upacara pernikahan keduanya berlangsung sederhana.

Pasangan suami istri kemudian memiliki prestasi luar biasa, bagi masyarakat maupun bangsa dan negara. Kehadiran Muhammadiyah tahun 1912 yang didirikan Kiai Dahlan mampu mengangkat harkat, derajat, dan martabat kaum pribumi menjadi setara bahkan mengungguli kolonial Belanda dan pendukungnya. Di balik itu adalah peran besar Nyai Walidah yang memanfaatkan masa stay at home alias pingit untuk pengembangan dirinya. (*)


*Tim Redaksi mediamu.com
Diolah dari berbagai sumber

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow