K.H. Ibrahim Meninggal Tanpa Meninggalkan Harta Benda
BELUM lama ini beredar video lama melalui WhatsApp acara besar Muhammadiyah di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Ada narasi yang menyebutkan bahwa wajah Kiai Dahlan muncul di video tersebut. Tetapi ketika diikuti dari awal sampai akhir, tidak ada wajah mirip Kiai Dahlan. Ada wajah yang beberapa kali terlihat, tapi jelas bukan sang pendiri Muhammadiyah. Kemudian ada konfirmasi bahwa itu adalah Kiai Haji Ibrahim.
Ya beliau adalah K.H. Ibrahim, Ketua Umum Muhammadiyah setelah K.H. Ahmad Dahlan. Ada cerita menarik dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta tahun 1928, ketika persyarikatan masih berumur 16 tahun. Kiai Ibrahim dengan tegas minta gambar-gambar Kiai Dahlan diturunkan. Sesaat situasi tegang muncul di arena kongres.
Ibrahim punya alasan. Bukan karena tak menghormati pendiri Muhammadiyah. Ia justru tidak ingin Kiai Dahlan terlalu dikultuskan, karena gejala pengkultusan sudah mulai tampak (Lustia Bekti Rohayati, K.H. Ibrahim: Kepemimpinan dan Perjuangannya dalam Muhammadiyah, 2009:39).
Tujuan utama Muhammadiyah adalah meluruskan penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam dengan bersandarkan kepada Al Qur’an dan Al Hadits. Jadi, pengkultusan terhadap siapapun harus dihindari. Itulah yang selalu diperjuangkan Kiai Ibrahim selaku penerus Kiai Dahlan.
Pilihan Kiai Dahlan
Tidak salah jika disebut Kiai Ibrahim adalah pewaris sah Muhammadiyah yang didirikan Kiai Dahlan tanggal 18 November 1912. Sebelum wafat pada 23 Februari 1923, sang kiai berpesan agar kepemimpinan Muhammadiyah diserahkan kepada Ibrahim.
Ibrahim awalnya menolak karena ia merasa tidak sanggup mengampu tugas sebesar itu. Lebih-lebih ia adalah adik kandung Siti Walidah, istri K.H.A. Dahlan. Artinya, ia adalah ipar Kiai Dahlan. Ibrahim khawatir akan timbul anggapan atau persepsi miring jika ia memimpin Muhammadiyah.
Namun, banyak pihak yang mendukungnya menjalankan wasiat Kiai Dahlan memimpin Muhammadiyah. Atas besarnya sokongan tersebut, Ibrahim luluh. Dalam sidang tahunan pada Maret 1923, Ibrahim dikukuhkan sebagai voorzitter hoofdbestuur atau Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (H. Soedjak, Riwayat Hidup K.H. Dahlan, 1933:227).
Ibrahim memang menjadi harapan besar bagi masa depan Muhammadiyah, bahkan sejak usianya masih sangat muda. Putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, Penghulu Hakim Negeri Kraton Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, ini dinilai punya bakat dan kemampuan mumpuni sebagai pemimpin.
Ketika umurnya baru 17 tahun, Ibrahim sudah menunaikan ibadah haji. Ia bahkan menetap di Makkah antara 7 hingga 8 tahun untuk memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang ajaran Islam (Hery Sucipto, et.al., Tajdid Muhammadiyah: Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Maarif, 2005).
Ibrahim pulang ke tanah air pada 1902 karena ingin mendampingi ayahnya yang sudah usia lanjut. Di kampung kelahirannya, Kauman Yogyakarta, yang dekat dengan lingkungan kraton, Ibrahim berbagi ilmu agama yang didapatnya kepada anak-anak muda setempat dengan membuka forum pengajian setiap hari.
Kaum Muda dan Perempuan
Muhammadiyah di bawah pimpinan K.H. Ibrahim mengalami perkembangan pesat dengan berdirinya banyak cabang di berbagai daerah di Indonesia. Ibrahim memang tidak ingin Muhammadiyah hanya terpusat di Yogyakarta, termasuk dalam pelaksanaan kongres, muktamar, atau rapat-rapat penting lainnya.
Sejak 1923, kongres besar Muhammadiyah selalu berpindah-pindah lokasi penyelenggaraan. Surabaya, Pekalongan, Solo, Semarang, bahkan Bukittinggi hingga Makassar pernah merasakan menjadi tuan rumah kongres. Tujuannya adalah agar Muhammadiyah semakin dikenal dan kian menyebar luas ke seluruh wilayah Hindia Belanda atau Indonesia.
Meskipun berperan sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah yang mempunyai puluhan ribu anggota, Ibrahim tidak lantas memasang gengsi tinggi. Ia justru tidak segan-segan turun ke bawah, memberikan perhatian dan bimbingan langsung kepada kader-kader di berbagai daerah.
K.H. Ibrahim punya minat besar terhadap angkatan muda dan organisasi sayap perempuan Muhammadiyah. Sang ketua umum selalu siap setiap kali Hizbul Wathan atau ‘Aisyiyah membutuhkan bantuannya (Nur Ahmad & Pramono Tantowi, Muhammadiyah “Digugat”: Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah, 2000:67).
Sebagai pengembangan dua organisasi otonom Muhammadiyah itu, kepengurusan pusat di bawah komando K.H. Ibrahim membentuk Pemuda Muhammadiyah untuk kaum remaja putra dan Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) untuk remaja putri. Dua organ angkatan muda Muhammadiyah ini masih eksis hingga kini.
Gebrakan Pemimpin Besar
Muhammadiyah melakukan berbagai terobosan baru selama masa kepemimpinan Kiai Ibrahim. Pada 1924 misalnya, ia memelopori dibentuknya Fonds Dahlan yaitu lembaga sosial yang bertujuan membiayai sekolah anak-anak kurang mampu.
Hal-hal yang terkesan “remeh” pun tidak luput dari perhatiannya. Ia menyelenggarakan khitanan massal pada 1925, juga membentuk badan perkawinan sebagai wadah untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah (A.R. Fachruddin, Memelihara Ruh Muhammadiyah, 1996).
Program yang diberi nama “Anak Panah Muhammadiyah” juga dicetuskan Ibrahim. Melalui program ini, kader-kader muda terbaik dikirim ke berbagai wilayah di tanah air, hingga ke pelosok-pelosok, untuk mengabdikan diri kepada masyarakat.
Tahun 1927, atas andil K.H. Ibrahim, Muhammadiyah meresmikan dibentuknya Majelis Tarjih, lembaga khusus yang membidangi masalah keagamaan untuk menyatukan seluruh umat Islam. Sedangkan untuk menangani berbagai persoalan ekonomi dan sosial, Muhammadiyah mendirikan Majelis Perekonomian dan Wakaf, juga koperasi Koperasi Adz-Dzakirat.
Dalam kongres di Solo pada 1929, Ibrahim turut merumuskan Uitgeefster My, badan usaha untuk menerbitkan buku-buku bagi sekolah-sekolah milik Muhammadiyah (M. Yunan Yusuf, Ensiklopedi Muhammadiyah, 2005:308). Ia juga mencetuskan diterbitkannya surat kabar harian (daagblad) untuk mendampingi majalah Suara Muhammadiyah yang telah terbit sebelumnya.
Sama seperti Kiai Dahlan, Ibrahim menjalankan amanat sebagai pemimpin utama Muhammadiyah sampai akhir hayat. Berkat kemampuan memimpin yang telah teruji, Ibrahim selalu terpilih menjadi ketua umum dalam setiap kongres (muktamar) sampai tahun 1932 di Makassar.
Tanggal 14 Oktober 1932, K.H. Ibrahim meninggal dunia karena sakit (Solichin Salam, Muhammadijah dan Kebangunan Islam di Indonesia, 1965:135). Ia wafat tanpa meninggalkan harta benda, namun mewariskan pondasi yang lebih kuat tetap tegaknya panji-panji Muhammadiyah yang nyatanya masih berdiri kokoh hingga kini. (hr)
Diambil dari http://tirto.id
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow